Falsafah dalam hidup menjadi hal penting yang dikenal, diketahui dan dilakoni (dijalani) oleh masyarakat Jawa.
Falsafah Pertama: Sakmadya
Dengan lemah lembut mbah Maridjan berkata kepada penambang pasir, ‘Uwes le nambang sakcukupe, urip kui sakmadya nglakoni‘, atau dalam bahasa Indonesia artinya: ‘Sudah, menambang (pasir) secukupnya saja, hidup itu dijalani dengan secukupnya tidak kurang atau lebih’. Mbah Maridjan mengatakan ini karena ia melihat kemungkinan lahar dingin datang cukup besar.
Nasehat
mbah Maridjan ini cukup lama saya pahami dan resapi, ternyata maknanya
sangat indah. Falsafah ini mengajarkan kita bahwa menjalani hidup
sebagai orang Jawa harus secukupnya, tak perlu bermewahan atau
berlebihan dalam segala hal.
Sayangnya, penambang pasir itu tidak
mendengarkan nasehat mbah Maridjan. Yang terjadi kemudian, truk pasir
yang diparkirnya di tengah sungai terbawa lahar dingin. Lahar dingin ini
sering tiba-tiba saja datang saat musim penghujan. Kita tak bisa
memprediksi akan sederas apa airnya. Akhirnya truk tersebut hanyut
hingga beberapa meter dan muatannya ikut terbawa air.
Falsafah hidup kedua : Semeleh
Orang-orang
Jawa sering terlihat kurang ngotot berusaha untuk meraih sesuatu. Itu
bukan berarti mereka tidak mencoba atau tidak mau berusaha. Mereka
berusaha hingga batas yang dapat mereka hadapi. Selebihnya, mereka
memasrahkan itu kepada Tuhan. Inilah yang disebut sebagai semeleh.
Falsafah
jawa kedua saya dengarkan dari teman saya yang berasal dari sunda. Dia
memiliki mertua dari Jawa. Siang itu di sela-sela aktivitas kantor, kami
mengobrol.
‘Mas, apa sih kunci kehidupan yang damai dan bisa ikhlas?’
‘Kuncinya
malah kupelajari dari mertuaku yang asli Jawa. Beliau bilang saat kita
benar-benar merasa ‘sempit’ dalam hidup, merasa ‘berat’, satu yang bisa
kita lakukan yaitu semeleh,’ Teman saya menjelaskan dengan lugas.
‘Maksudnya mas?’
’Semeleh itu ikhlas dengan seluruh permasalahan atau beban, membiarkan Tuhan yang mengatur dan memberikan solusinya.’
Mendengarnya
saya tertegun, memang benar tidak semua masalah bisa benar-benar kita
selesaikan saat itu juga. Ada kalanya, masalah baru bisa kita selesaikan
di kemudian hari. Bantuan bisa datang dari sesuatu yang tak pernah kita
duga sebelumnya. Terkadang dalam kehidupan sehari-hari saat kita ngotot
menyelesaikan masalah dengan ngotot, seolah merasa kita adalah manusia
super yang bisa menyelesaikan berbagai macam hal, hal itu hanya menambah
pening kepala dan menjadi beban. Saat kita gagal menyelesaikan masalah,
kita stres.
Falsafah Ketiga: Sangkan paraning dumadi
Falsafah
ini mengajarkan tentang, “apa yang kita tanam itu apa yang akan kita
petik hasilnya nanti”. Itu sebabnya tidak sedikit orang Jawa asli yang
mudah membantu orang atau ringan tangan, mudah memberi dan mudah
memaafkan. Mereka yang mudah memberi selalu percaya, kebaikan mereka
hari ini akan berbuah manis kelak, jika kebaikan yang sama atau lebih
baik tidak diterima oleh dirinya maka akan diterima oleh anak cucunya.
Orang Jawa asli yang mudah memaafkan ini juga menganut kepercayaan
bahwa berlama-lama terlarut dalam kemarahan atau kebencian tidak akan
ada hasilnya. Jadi, jalan damailah yang dipilih, yaitu memaafkan.
Sumber : https://phinemo.com/pandangan-hidup-orang-jawa-yang-layak-diteladani/
0 Comments
Posting Komentar